Senin, 22 Desember 2014

PONDOK




Sebuah pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional dimana siswanya tinggal bersama dan belajar dibawah bimbingan seorang (atau lebih) guru yang lebih dikenal dengan sebutan kyai. Asrama untuk para santri berada dalam lingkungan komplek pesantren dimana kyai bertempat tinggal yang juga menyediakan sebuah masjid untuk beribadah, ruangan untuk belajar dan kegiatan-kegiatan keagamaan yang lain. Komplek pesantren ini biasanya dikelilingi oleh tembok untuk menjaga keluar dan masuknya para santri dan tamu-tamu (orang tua santri, keluarga yang lain, dan tamu-tamu masyarakat luas) dengan peraturan yang berlaku.
Pesantren pada zaman dahulu milik kyai, tetapi sekarang kebanyakan pesantren tidak semata-mata di anggap milik kyai saja, melainkan milik masyarakat. Hal ini di sebabkan para kyai sekarang memperoleh sumber-sumber keuangan untuk membiayai dan pengembangan pesantren dari masyarakat. Banyak pula kelompok pesantren yang kini sudah berstatus wakaf, baik yang diberikan oleh kyai yang terdahulu, maupun yang berasal dari orang-orang kaya. Walaupun demikian, para kyai masih tetap memiliki kekuasaan mutlak atas pengurusan komplek pesantren. Para penyumbang sendiri beranggapan bahwa para kyai berhak memperoleh dana dari masyarakat; dan dana itu dianggap sebagai milik Tuhan, dan para kyai diakui sebagai institusi ataupun pribadi yang dengan nama Tuhan mengurus dana-dana masyarakat tersebut. Dalam praktek memang jarang sekali diperlukan campur tangan masyarakat tersebut.
Ada dua alasan utama dalam hal perubahan sistem pemilikan pesantren. Pertama, dulu pesantren tidak memerlukan pembiayaan yang besar, baik karena jumlah santri tidak banyak, maupun karena kebutuhan jenis dan jumlah alat-alat bangunan dan lain-lainnya relative sangat kecil. Kedua, baik kyainya, maupun tenaga-tenaga pendidik yang membantunya, merupakan bagian dari kelompok orang-orang yang mampu di pedesaan. Dengan demikian, mereka dapat membiayai sendiri baik kebutuhan kehidupannya maupun kebutuhan penyelenggaraan kehidupan pesantren. Hal ini tidak berarti bahwa semua kyai dilahirkan kaya.
Banyak bukti menunjukkan bahwa kyai harus berjuang keras dari bawah untuk mengembangkan pesantrennya., dan kemudian barulah mereka menjadi kaya. Dengan kata lain, proses atau jalan bagi pesantren untuk dapat memiliki sumber-sumber kekayaan yang cukup tidak hanya satu.
Etik ekonomi para kyai meyakini bahwa kekayaan semata-mata milik Allah; yang dipegang oleh manusia itu adalah sebagai “Amanat” (titipan) dari Allah. Kekayaan hanya boleh dibelanjakan untuk kepentingan keagamaan, dan dengan etik ini, para kyai beranggapan bahwa kekayaan tidak boleh dibelanjakan semata-mata untuk kepuasan usik.
Faktor lainnya ialah prestise sosial yang amat tinggi yang dimiliki oleh para kyai; dan prestise ini mengakibatkan atau menghasilkan jalan yang mudah untuk memperoleh kemudahan bagi kebutuhan-kebutuhan materi yang diperlukan untuk kepentingan santri dan pesantren. Kekayaan tentu penting untuk mempermudah pencapaian hal-hal yang diperintahkan oleh Allah. Sejauh yang saya ketahui pada masa sekarang ini, kyai-kyai yang kaya pada umumnya memiliki pesantren besar, ada beberapa kyai memiliki mobil Mercedes atau BMW, tetapi tampaknya praktek kehidupannya tetap sederhana. Merek mobil mewah yang dimilikinya itu bukan kendaraan baru, melainkan kendaraan bekas. Pemilikan mobil seperti itu lebih dimaksudkan untuk kebutuhan antar-jemput tamu.
Pondok, asrama bagi santri, merupakan ciri khas tradisi pesantren, yang membedakannya dengan sistem pendidikan tradisional dimasjid-masjid yang berkembang dikebanyakan wilayah Islam di Negara-negara lain. Sistem pendidikan surau di daerah Minangkabau atau Dayah di Aceh pada dasarnya sama dengan sistem pondok, yang berbeda hanya namanya.
Di Afganistan misalnya, para murid dan guru yang belum menikah tinggal di masjid. Jika dimasjid tersebut cukup luas, satu atau dua kamar yang disebut hujrah dibangun disamping masjid untuk tempat tidur para murid dan guru. Kebanyakan murid tinggal menyebar dilanggar-langgar yang berdekatan dengan masjid yang besar tersebut. Para murid dilanggar-langgar ini biasanya memimpin sembahyang lima waktu bagi jama’ah (masyarakat) setempat; dan atas kedudukannya ini masyarakat menanggung kebutuhan makan para tullab (murid). Pada musim panen, sebagian hasil panen disedekahkan kepada tullab sebagai hak Allah; sedekah ini biasanya dibelanjakan oleh tullab untuk kebutuhan pakaian dan uang saku.
Di Jawa, besarnya pondok tergantung dari jumlah santri. Pesantren besar yang memiliki santri lebih dari 3.000 ada yang telah memiliki gedung bertingkat tiga yang dibuat dari tembok; semua ini biasanya dibiayai dari para santri dan sumbangan masyarakat. Tanggung jawab santri dalam pendirian dan pemeliharaan pondok diselenggarakan dengan cara yang berbeda-beda.
Pesantren Darussalam, blok Agung di Banyuwangi misalnya, mewajibkan para santri membayar Rp 6.000,- (setahun), menyediakan sepotong kayu bangunan, satu meter kubik pasir dan diwajibkan membuat 200 buah batu bata setahun sekali. Demikian pula pesantren Ploso di Kediri mewajibkan para santrinya membayar uang pondok sebanyak Rp 7.500,- setahun, dan mengumpulkan zakat dari orang-orang kaya dikampung asal para santri diwaktu musim panen untuk kepentingan perluasan bangunan dalam lingkungan pesantren. Pesantren Tebuireng di Jombang mewajibkan para santrinya membayar uang pondok  Rp 600,- sebulan, ditambah dengan potongan 5 persen dari kiriman wesel yang diterima oleh para santri dari kiriman orangtuanya. Kebanyakan pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur kini memiliki santri lebih dari 500 orang. Hal ini menyebabkan perlunya suatu manajemen yang lebih formal, yang tidak dapat diselenggarakan semata-mata dari kekayaan kyai.
Ada tiga alasan utama mengapa pesantren harus menyediakan asrama bagi para santri :
            1)      Kemasyhuran seorang kyai dan kedalaman pengetahuannya tentang Islam menarik santri-santri dari tempat-tempat yang jauh untuk berdatangan. Untuk dapat menggali ilmu dari kyai tersebut secara teratur dan dalam waktu yang lama, para santri harus meninggalkan kampung halaman dan menetap didekat kediaman kyai dalam waktu yang lama. 
            2)      Hampir semua pesantren berada di desa-desa. Di desa tidak ada model kos-kosan seperti di kota-kota Indonesia pada umumnya dan juga tidak tersedia perumahan (akomodasi) yang cukup untuk dapat untuk menampung santri-santri. Dengan demikian, perlu ada asrama khusus bagi para santri. 
            3)      Ada sikap timbal balik antara kyai dan santri, dimana para santri menganggap kyainya seolah-olah sebagai bapaknya sendiri, sedangkan kyai menganggap para santri sebagai titipan Tuhan yang harus senantiasa dilindungi. Sikap timbal balik ini menimbulkan keakraban dan kebutuhan untuk saling berdekatan terus menerus. Sikap ini juga menimbulkan perasaan tanggung jawab di pihak kyai untuk dapat menyediakan tempat tinggal bagi para santri. Di samping itu, dari pihak santri tumbuh perasaan pengabdian kepada kyainya, sehingga para kyai memperoleh imbalan dari para santri sebagai sumber tenaga bagi kepentingan pesantren dan keluarga kyai.
Di Negeri-Negeri Muslim yang lain, para ulama kebanyakan merupakan penduduk kota. Dengan demikian, para murid dari jauh yang belajar dibawah bimbingan ulama dapat menyewa tempat tinggal disekitar rumah gurunya, yang biasanya tersedia cukup banyak. Di Mekah dan Madinah misalnya, yang merupakan dua pusat utama bagi studi Islam tradisional, para ulama mengajar murid-muridnya di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Para murid yang kebanyakan datang dari luar negeri, tinggal didalam koloni-koloni. Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir, menyediakan akomodasi dalam komplek universitas, tetapi tidak seperti pesantren. Al-Azhar berkembang dari sistem pendidikn masjid tradisional dimana pemerintah memegang inisiatif penting dalam penyediaan gedung asrama sehingga pada akhirnya asrama menjadi milik masyarakat sepenuhnya.
Pentingnya pondok pesantren  sebagai asrama para santri tergantung kepada jumlah santri yang datang dari daerah-daerah yang jauh. Untuk pesantren kecil misalnya, para santri banyak pula yang tinggal di rumah-rumah penduduk di sekitar pesantren; mereka menggunakan pondok hanya untuk keperluan-keperluan tertentu saja. Untuk pesantren-pesantren besar, seperti Tebuireng, para santri harus puas tinggal bersama-sama dengan sepuluh sampai limabelas santri dalam satu kamar sempit (kira-kira 8 meter persegi). Tidak semua santri dapat tidur dalam kamar tersebut di waktu malam; beberapa tidur di serambi masjid. Ada sekitar 200 santri tidur di serambi masjid Tebuireng setiap malam. Para santri ini, sebenarnya terdaftar di kamar-kamar tertentu dimana mereka menyimpan pakaian dan barang-barang miliknya yang lain.
Keadaan kamar-kamar pondok biasanya sangat sederhana; mereka tidur di atas lantai tanpa kasur. Papan-papan di pasang pada dinding untuk menyimpan koper dan barang-barang lain. Para santri dari keluarga kaya-pun harus menerima dan puas dengan fasilitas yang sangat sederhana ini. Para santri tidak boleh tinggal di luar komplek pesantren, kecuali mereka yang berasal dari desa-desa di sekeliling pondok. Alasannya ialah agar kyai dapat mengawasi dan menguasai mereka secara mutlak. Hal ini sangat diperlukan karena telah disebutkan tadi, kyai tidak hanya seorang guru, tetapi juga pengganti ayah para santri yang bertanggung jawab untuk membina dan memperbaiki tingkah laku dan moral para santri.
Bagi pesantren besar, pondok terdiri dari beberapa blok tempat tinggal yang di organisir kedalam kelompok-kelompok bagian, dan setiap bagian memiliki sejumlah santri dari 50 sampai 120 orang. Tiap-tiap bagian memiliki nama-nama yang diambil dari alfabet. Beberapa bagian mengambil nama tambahan dari nama-nama Arab. Di Tebuireng misalnya, satu bagian menamakan dirinya Al-Azhar.
Pesantren pada umumnya tidak menyediakan kamar khusus untuk santri senior yang kebanyakan juga merangkap sebagai ustad (guru muda). Mereka tinggal dan tidur bersama-sama santri yunior.
Pondok tempat tinggal santri merupakan elemen paling penting dari tradisi pesantren, tapi juga penopang utama bagi pesantren untuk dapat terus berkembang. Meskipun keadaan pondok sangat sederhana dan penuh sesak, namun anak-anak muda yang berasal dari pedesaan dan baru pertama kali meninggalkan desanya untuk melanjutkan pelajaran di suatu wilayah yang baru itu tidak perlu mengalami kesukaran dalam tempat tinggal atau penyesuaian diri dengan lingkungan sosial yang baru.
Di Indonesia, anak-anak muda pendatang baru dari desa-desa yang ingin melanjutkan pelajarannya di kota seringkali mengalami kesulitan perumahan. Tidak demikian halnya dalam lingkungan pesantren, dimana seorang pendatang akan langsung memperoleh kamar hari itu juga begitu ia selesai mendaftarkan diri. Kyai dan santri senior selalu membantu santri baru untuk dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan baru di pesantren. (ZAMAKHSYARI DHOFIER)

0 komentar:

Posting Komentar