Jumat, 12 Desember 2014




Ada yang mengatakan, dengan menghalalkan pernikahan antar agama, akan terjadi hubungan yang lebih erat antara kaum Muslim dan non-Muslim, sehingga terbuka kesempatan agar mereka mau mempelajari Islam, dan kemudian mereka menjadi seorang mu’allaf.
Namun ada beberapa kasus yang justru menunjukkan sebaliknya. Sebab mereka merasa bahwa agamanyalah yang lebih tinggi. Inilah problem yang sampai saat ini masih menjadi penghalang bagi dialog antaragama.
Saat-saat usai meminang, yang mendahului hari pernikahan, adalah saat yang paling afdol untuk membujuk dan mempengaruhi calon istri. Bila pada masa-masa itu ia gagal menariknya masuk agama Islam, maka hal itu akan lebih sulit lagi terjadi setelah menikah, saat ia telah menghadapi berbagai kesibukan rutin dalam kehidupan rumah tangga.
Contoh yang lebih kongkrit adalah pada kehidupan Rasulullah saw. Beliau menikah dengan wanita yang telah masuk Islam, yaitu Shafiyah binti Huyay bin Akhthab, putri pemuka kaum Yahudi Madinah. Rasul memulyakan Shafiyah ini sedemikian rupa, namun pernikahan beliau ini tidak menghasilkan apapun di hati para keluarga Shafiyah kecuali hanyalah kebencian yang semakin besar. Padahal pernikahan beliau dengan Juwairiyah  bin Al-Harits, pemuka Bani Musthaliq (kaum musyrikin), telah membuahkan hasil yang baik. Ketika para sahabat nabi saw telah merelakan hak-hak mereka dari ghanimah yang mereka peroleh, untuk dikembalikan pada para kerabat nabi melalui pernikahan ini. Hal itu menggetarkan perasaan kaum Bani Musthaliq, maka berduyun-duyunlah mereka memeluk agama Islam.
Sekarang marilah kita lihat pemuda-pemuda Muslim yang pernah tinggal di Barat dan kembali ke Negara asalnya dengan menggandeng istri-istri yang berasal dari sana. Separuh lebih usia perkawinan telah mereka lalui, namun tidak seorang pun dari istri-istri mereka yang memeluk Islam. Dan tidak seorang pun dari sanak keluarga di sana, yang karena hubungan kerabat perkawinan ini, yang masuk Islam. Kecuali jika istrinya itu telah beriman sebelumnya atau memiliki pengetahuan tentang Islam secara luas. Biasanya, wanita seperti ini masuk Islam karena faktor spesialisasi pendidikan yang ia tekuni tentang ilmu-ilmu ketimuran.

            Justru yang sering kita jumpai, mereka yang beristrikan wanita barat itu, kembali ke Negara asalnya dalam keadaan kehilangan rasa bangga pada bangsa dan agamanya. Jarang kita jumpai, seseorang yang menikah dengan wanita Ahlulkitab, lalu agamanya tetap bersih sebagaimana sebelum ia menikahinya. Kecuali hanya sebagian kecil saja, kurang dari satu persen dibanding jumlah mereka yang telah kembali dari barat. 

2 komentar:

  1. Good👍
    semoga para generasi bangsa bisa sadar, akan perlunya keprihatinan pada negeri tercinta ini, atas nama umat😊

    BalasHapus
  2. God👍
    semoga dengan artikel ini,dapat menjadikan generasi bangsa sadar akan pentingnya rasa peduli terhadap sesama, atas nama umat😊

    BalasHapus