Ada yang mengatakan, dengan menghalalkan pernikahan antar agama,
akan terjadi hubungan yang lebih erat antara kaum Muslim dan non-Muslim,
sehingga terbuka kesempatan agar mereka mau mempelajari Islam, dan kemudian
mereka menjadi seorang mu’allaf.
Namun ada beberapa kasus yang justru menunjukkan sebaliknya. Sebab
mereka merasa bahwa agamanyalah yang lebih tinggi. Inilah problem yang sampai
saat ini masih menjadi penghalang bagi dialog antaragama.
Saat-saat usai meminang, yang mendahului hari pernikahan, adalah
saat yang paling afdol untuk membujuk dan mempengaruhi calon istri. Bila pada
masa-masa itu ia gagal menariknya masuk agama Islam, maka hal itu akan lebih
sulit lagi terjadi setelah menikah, saat ia telah menghadapi berbagai kesibukan
rutin dalam kehidupan rumah tangga.
Contoh yang lebih kongkrit adalah pada kehidupan Rasulullah saw.
Beliau menikah dengan wanita yang telah masuk Islam, yaitu Shafiyah binti Huyay
bin Akhthab, putri pemuka kaum Yahudi Madinah. Rasul memulyakan Shafiyah ini
sedemikian rupa, namun pernikahan beliau ini tidak menghasilkan apapun di hati
para keluarga Shafiyah kecuali hanyalah kebencian yang semakin besar. Padahal pernikahan
beliau dengan Juwairiyah bin Al-Harits,
pemuka Bani Musthaliq (kaum musyrikin), telah membuahkan hasil yang baik.
Ketika para sahabat nabi saw telah merelakan hak-hak mereka dari ghanimah
yang mereka peroleh, untuk dikembalikan pada para kerabat nabi melalui
pernikahan ini. Hal itu menggetarkan perasaan kaum Bani Musthaliq, maka
berduyun-duyunlah mereka memeluk agama Islam.
Sekarang marilah kita lihat pemuda-pemuda Muslim yang pernah
tinggal di Barat dan kembali ke Negara asalnya dengan menggandeng istri-istri
yang berasal dari sana. Separuh lebih usia perkawinan telah mereka lalui, namun
tidak seorang pun dari istri-istri mereka yang memeluk Islam. Dan tidak seorang
pun dari sanak keluarga di sana, yang karena hubungan kerabat perkawinan ini,
yang masuk Islam. Kecuali jika istrinya itu telah beriman sebelumnya atau
memiliki pengetahuan tentang Islam secara luas. Biasanya, wanita seperti ini
masuk Islam karena faktor spesialisasi pendidikan yang ia tekuni tentang
ilmu-ilmu ketimuran.
Justru yang sering kita jumpai, mereka
yang beristrikan wanita barat itu, kembali ke Negara asalnya dalam keadaan kehilangan
rasa bangga pada bangsa dan agamanya. Jarang kita jumpai, seseorang yang
menikah dengan wanita Ahlulkitab, lalu agamanya tetap bersih sebagaimana
sebelum ia menikahinya. Kecuali hanya sebagian kecil saja, kurang dari satu
persen dibanding jumlah mereka yang telah kembali dari barat.
Good👍
BalasHapussemoga para generasi bangsa bisa sadar, akan perlunya keprihatinan pada negeri tercinta ini, atas nama umat😊
God👍
BalasHapussemoga dengan artikel ini,dapat menjadikan generasi bangsa sadar akan pentingnya rasa peduli terhadap sesama, atas nama umat😊