Senin, 22 Desember 2014

PONDOK




Sebuah pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional dimana siswanya tinggal bersama dan belajar dibawah bimbingan seorang (atau lebih) guru yang lebih dikenal dengan sebutan kyai. Asrama untuk para santri berada dalam lingkungan komplek pesantren dimana kyai bertempat tinggal yang juga menyediakan sebuah masjid untuk beribadah, ruangan untuk belajar dan kegiatan-kegiatan keagamaan yang lain. Komplek pesantren ini biasanya dikelilingi oleh tembok untuk menjaga keluar dan masuknya para santri dan tamu-tamu (orang tua santri, keluarga yang lain, dan tamu-tamu masyarakat luas) dengan peraturan yang berlaku.
Pesantren pada zaman dahulu milik kyai, tetapi sekarang kebanyakan pesantren tidak semata-mata di anggap milik kyai saja, melainkan milik masyarakat. Hal ini di sebabkan para kyai sekarang memperoleh sumber-sumber keuangan untuk membiayai dan pengembangan pesantren dari masyarakat. Banyak pula kelompok pesantren yang kini sudah berstatus wakaf, baik yang diberikan oleh kyai yang terdahulu, maupun yang berasal dari orang-orang kaya. Walaupun demikian, para kyai masih tetap memiliki kekuasaan mutlak atas pengurusan komplek pesantren. Para penyumbang sendiri beranggapan bahwa para kyai berhak memperoleh dana dari masyarakat; dan dana itu dianggap sebagai milik Tuhan, dan para kyai diakui sebagai institusi ataupun pribadi yang dengan nama Tuhan mengurus dana-dana masyarakat tersebut. Dalam praktek memang jarang sekali diperlukan campur tangan masyarakat tersebut.
Ada dua alasan utama dalam hal perubahan sistem pemilikan pesantren. Pertama, dulu pesantren tidak memerlukan pembiayaan yang besar, baik karena jumlah santri tidak banyak, maupun karena kebutuhan jenis dan jumlah alat-alat bangunan dan lain-lainnya relative sangat kecil. Kedua, baik kyainya, maupun tenaga-tenaga pendidik yang membantunya, merupakan bagian dari kelompok orang-orang yang mampu di pedesaan. Dengan demikian, mereka dapat membiayai sendiri baik kebutuhan kehidupannya maupun kebutuhan penyelenggaraan kehidupan pesantren. Hal ini tidak berarti bahwa semua kyai dilahirkan kaya.
Banyak bukti menunjukkan bahwa kyai harus berjuang keras dari bawah untuk mengembangkan pesantrennya., dan kemudian barulah mereka menjadi kaya. Dengan kata lain, proses atau jalan bagi pesantren untuk dapat memiliki sumber-sumber kekayaan yang cukup tidak hanya satu.
Etik ekonomi para kyai meyakini bahwa kekayaan semata-mata milik Allah; yang dipegang oleh manusia itu adalah sebagai “Amanat” (titipan) dari Allah. Kekayaan hanya boleh dibelanjakan untuk kepentingan keagamaan, dan dengan etik ini, para kyai beranggapan bahwa kekayaan tidak boleh dibelanjakan semata-mata untuk kepuasan usik.
Faktor lainnya ialah prestise sosial yang amat tinggi yang dimiliki oleh para kyai; dan prestise ini mengakibatkan atau menghasilkan jalan yang mudah untuk memperoleh kemudahan bagi kebutuhan-kebutuhan materi yang diperlukan untuk kepentingan santri dan pesantren. Kekayaan tentu penting untuk mempermudah pencapaian hal-hal yang diperintahkan oleh Allah. Sejauh yang saya ketahui pada masa sekarang ini, kyai-kyai yang kaya pada umumnya memiliki pesantren besar, ada beberapa kyai memiliki mobil Mercedes atau BMW, tetapi tampaknya praktek kehidupannya tetap sederhana. Merek mobil mewah yang dimilikinya itu bukan kendaraan baru, melainkan kendaraan bekas. Pemilikan mobil seperti itu lebih dimaksudkan untuk kebutuhan antar-jemput tamu.
Pondok, asrama bagi santri, merupakan ciri khas tradisi pesantren, yang membedakannya dengan sistem pendidikan tradisional dimasjid-masjid yang berkembang dikebanyakan wilayah Islam di Negara-negara lain. Sistem pendidikan surau di daerah Minangkabau atau Dayah di Aceh pada dasarnya sama dengan sistem pondok, yang berbeda hanya namanya.
Di Afganistan misalnya, para murid dan guru yang belum menikah tinggal di masjid. Jika dimasjid tersebut cukup luas, satu atau dua kamar yang disebut hujrah dibangun disamping masjid untuk tempat tidur para murid dan guru. Kebanyakan murid tinggal menyebar dilanggar-langgar yang berdekatan dengan masjid yang besar tersebut. Para murid dilanggar-langgar ini biasanya memimpin sembahyang lima waktu bagi jama’ah (masyarakat) setempat; dan atas kedudukannya ini masyarakat menanggung kebutuhan makan para tullab (murid). Pada musim panen, sebagian hasil panen disedekahkan kepada tullab sebagai hak Allah; sedekah ini biasanya dibelanjakan oleh tullab untuk kebutuhan pakaian dan uang saku.
Di Jawa, besarnya pondok tergantung dari jumlah santri. Pesantren besar yang memiliki santri lebih dari 3.000 ada yang telah memiliki gedung bertingkat tiga yang dibuat dari tembok; semua ini biasanya dibiayai dari para santri dan sumbangan masyarakat. Tanggung jawab santri dalam pendirian dan pemeliharaan pondok diselenggarakan dengan cara yang berbeda-beda.
Pesantren Darussalam, blok Agung di Banyuwangi misalnya, mewajibkan para santri membayar Rp 6.000,- (setahun), menyediakan sepotong kayu bangunan, satu meter kubik pasir dan diwajibkan membuat 200 buah batu bata setahun sekali. Demikian pula pesantren Ploso di Kediri mewajibkan para santrinya membayar uang pondok sebanyak Rp 7.500,- setahun, dan mengumpulkan zakat dari orang-orang kaya dikampung asal para santri diwaktu musim panen untuk kepentingan perluasan bangunan dalam lingkungan pesantren. Pesantren Tebuireng di Jombang mewajibkan para santrinya membayar uang pondok  Rp 600,- sebulan, ditambah dengan potongan 5 persen dari kiriman wesel yang diterima oleh para santri dari kiriman orangtuanya. Kebanyakan pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur kini memiliki santri lebih dari 500 orang. Hal ini menyebabkan perlunya suatu manajemen yang lebih formal, yang tidak dapat diselenggarakan semata-mata dari kekayaan kyai.
Ada tiga alasan utama mengapa pesantren harus menyediakan asrama bagi para santri :
            1)      Kemasyhuran seorang kyai dan kedalaman pengetahuannya tentang Islam menarik santri-santri dari tempat-tempat yang jauh untuk berdatangan. Untuk dapat menggali ilmu dari kyai tersebut secara teratur dan dalam waktu yang lama, para santri harus meninggalkan kampung halaman dan menetap didekat kediaman kyai dalam waktu yang lama. 
            2)      Hampir semua pesantren berada di desa-desa. Di desa tidak ada model kos-kosan seperti di kota-kota Indonesia pada umumnya dan juga tidak tersedia perumahan (akomodasi) yang cukup untuk dapat untuk menampung santri-santri. Dengan demikian, perlu ada asrama khusus bagi para santri. 
            3)      Ada sikap timbal balik antara kyai dan santri, dimana para santri menganggap kyainya seolah-olah sebagai bapaknya sendiri, sedangkan kyai menganggap para santri sebagai titipan Tuhan yang harus senantiasa dilindungi. Sikap timbal balik ini menimbulkan keakraban dan kebutuhan untuk saling berdekatan terus menerus. Sikap ini juga menimbulkan perasaan tanggung jawab di pihak kyai untuk dapat menyediakan tempat tinggal bagi para santri. Di samping itu, dari pihak santri tumbuh perasaan pengabdian kepada kyainya, sehingga para kyai memperoleh imbalan dari para santri sebagai sumber tenaga bagi kepentingan pesantren dan keluarga kyai.
Di Negeri-Negeri Muslim yang lain, para ulama kebanyakan merupakan penduduk kota. Dengan demikian, para murid dari jauh yang belajar dibawah bimbingan ulama dapat menyewa tempat tinggal disekitar rumah gurunya, yang biasanya tersedia cukup banyak. Di Mekah dan Madinah misalnya, yang merupakan dua pusat utama bagi studi Islam tradisional, para ulama mengajar murid-muridnya di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Para murid yang kebanyakan datang dari luar negeri, tinggal didalam koloni-koloni. Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir, menyediakan akomodasi dalam komplek universitas, tetapi tidak seperti pesantren. Al-Azhar berkembang dari sistem pendidikn masjid tradisional dimana pemerintah memegang inisiatif penting dalam penyediaan gedung asrama sehingga pada akhirnya asrama menjadi milik masyarakat sepenuhnya.
Pentingnya pondok pesantren  sebagai asrama para santri tergantung kepada jumlah santri yang datang dari daerah-daerah yang jauh. Untuk pesantren kecil misalnya, para santri banyak pula yang tinggal di rumah-rumah penduduk di sekitar pesantren; mereka menggunakan pondok hanya untuk keperluan-keperluan tertentu saja. Untuk pesantren-pesantren besar, seperti Tebuireng, para santri harus puas tinggal bersama-sama dengan sepuluh sampai limabelas santri dalam satu kamar sempit (kira-kira 8 meter persegi). Tidak semua santri dapat tidur dalam kamar tersebut di waktu malam; beberapa tidur di serambi masjid. Ada sekitar 200 santri tidur di serambi masjid Tebuireng setiap malam. Para santri ini, sebenarnya terdaftar di kamar-kamar tertentu dimana mereka menyimpan pakaian dan barang-barang miliknya yang lain.
Keadaan kamar-kamar pondok biasanya sangat sederhana; mereka tidur di atas lantai tanpa kasur. Papan-papan di pasang pada dinding untuk menyimpan koper dan barang-barang lain. Para santri dari keluarga kaya-pun harus menerima dan puas dengan fasilitas yang sangat sederhana ini. Para santri tidak boleh tinggal di luar komplek pesantren, kecuali mereka yang berasal dari desa-desa di sekeliling pondok. Alasannya ialah agar kyai dapat mengawasi dan menguasai mereka secara mutlak. Hal ini sangat diperlukan karena telah disebutkan tadi, kyai tidak hanya seorang guru, tetapi juga pengganti ayah para santri yang bertanggung jawab untuk membina dan memperbaiki tingkah laku dan moral para santri.
Bagi pesantren besar, pondok terdiri dari beberapa blok tempat tinggal yang di organisir kedalam kelompok-kelompok bagian, dan setiap bagian memiliki sejumlah santri dari 50 sampai 120 orang. Tiap-tiap bagian memiliki nama-nama yang diambil dari alfabet. Beberapa bagian mengambil nama tambahan dari nama-nama Arab. Di Tebuireng misalnya, satu bagian menamakan dirinya Al-Azhar.
Pesantren pada umumnya tidak menyediakan kamar khusus untuk santri senior yang kebanyakan juga merangkap sebagai ustad (guru muda). Mereka tinggal dan tidur bersama-sama santri yunior.
Pondok tempat tinggal santri merupakan elemen paling penting dari tradisi pesantren, tapi juga penopang utama bagi pesantren untuk dapat terus berkembang. Meskipun keadaan pondok sangat sederhana dan penuh sesak, namun anak-anak muda yang berasal dari pedesaan dan baru pertama kali meninggalkan desanya untuk melanjutkan pelajaran di suatu wilayah yang baru itu tidak perlu mengalami kesukaran dalam tempat tinggal atau penyesuaian diri dengan lingkungan sosial yang baru.
Di Indonesia, anak-anak muda pendatang baru dari desa-desa yang ingin melanjutkan pelajarannya di kota seringkali mengalami kesulitan perumahan. Tidak demikian halnya dalam lingkungan pesantren, dimana seorang pendatang akan langsung memperoleh kamar hari itu juga begitu ia selesai mendaftarkan diri. Kyai dan santri senior selalu membantu santri baru untuk dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan baru di pesantren. (ZAMAKHSYARI DHOFIER)

Sabtu, 20 Desember 2014

Sejarah Awal Pesantren

Batu Nisan Hamzah Fansuri
Untuk dapat mengetahui sejauh mana kualitas Islam serta lembaga pesantren pada periode antara tahun 1200 dan 1650 sangat berkualitas dapat dijelaskan melalui suatu rekonstruksi sebagai berikut.
Pertama, Eropa pada abad ke-14 dan ke-15, bukanlah kawasan yang paling maju di Dunia. Bahkan kekuatan besar yang sedang berkembang di India dan Asia Tenggara pada abad ke-15, 16 dan awal 17 adalah Islam. Sementara itu, catatan-catatan harian para pengelana Portugis, Spanyol, Inggris dan Belanda perlu di kritisi karena pada abad ke-16 dan 17 tersebut mereka sedang mabuk kemenangan menikmati keunggulan teknologi persenjataan dan taktik-taktik peperangan mengalahkan kesultanan-kesultanan di Nusantara.
Kedua, kualitas Islam dan kualitas lembaga pendidikan yang tinggi di mulai pertengahan abad ke-10, tetapi tradisi menulis di Indonesia masih sangat lemah. Barus (salah satu kota tertua di Indonesia), antara pertengahan abad ke-9 dan akhir abad ke-14, merupakan Bandar Metropolitan yang menjadi awal terbangunnya pusat pendidikan Islam.
Ketiga, proses terpilihnya Islam sebagai Agama baru di Nusantara setelah rakyat kecewa atas melemahnya imperium Majapahit  setelah ditinggalkan oleh Patih Gajah Mada pada tahun 1356. Disamping itu, peralihan ke agama dan peradaban baru tidak mungkin dapat dilakukan bila para penganjur agama Islam dan pemimpin-pemimpin pendiri kesultanan di berbagai kota-kota pantai bukan pemikir-pemikir yang berkualitas tinggi. Bukti-bukti ketinggian pemikiran mereka itu kini mulai terungkap sebagai berikut :
Tim Arkeologi Indonesia-Prancis selama lima tahun (1998-2003), telah melakukan panggailan dan penelitian situs Barus di Sumatera Utara dan diketahui bahwa antara abad ke-9 dan 14, Barus menjadi Bandar Metropolitan. Berbagai ideologi dan agama berpapasan di Barus. Sebagian penduduk Barus beragama Hindu Brahma, Buddha, Kristen, Yahudi dan Islam. Kini, tempat pertemuan budaya yang luar biasa itu meninggalkan sejumlah kuburan orang Islam lama lengkap dangan inskripsi yang tersebar di beberapa kuburan yang tidak berjauhan. Kebanyakan pekuburan itu berasal dari abad ke-14 dan awal ke-15, dan beberapa adalah orang-orang bergelar Syekh. Nama-nama kompleks kuburan itu antara lain : Mahligai, Tuan Ambar, dan Papan Tinggi. Mereka mengajar, bermukim dan mendirikan pusat pendidikan Islam (pesantren).
Selain itu, Guillot & Kallus menemukan inskripsi pada nisan Hamzah Fansuri di pangkalan data thesaurus d’epigraphie islamique. Penemuan itu sangat menarik dan penting karena batu nisan budayawan agung nusantara itu ditemukan bukan di pekuburan di Barus melainkan di pekuburan Bab al-Ma’la di Mekah saat inskripsinya disalin pada tahun 1934. Kealiman dan kemasyhuran Hamzah Fansuri sebagai budayawan agung Nusantara memungkinkan dirinya berhasil menjadi guru besar yang dihormati di Masjidil Haram di Mekah. Teks di batu nisan itu tertulis sebagai berikut :


بسم الله الرحمن الرحيم الحى الا ان اوليء الله لا خوف عليهم ولا هم يحزنون هذا قبر الفقير الى الله تعالى سيدنا الشيخ العابد الناسك الزاهد الشيخ المرابط معدن الحقيقة الشيخ حمزة بن عبد الله الفنصور تغمده الله برحمته و اسكنه فسيح جنته آمين انتقل بالوفاء الى الله تعالى فجر يوم الخميس المبارك التاسع من شهرالله رجب الفرد الحرام عام ثلاثة و ثلا ثين و تسعمائة من الهجرة النبوية على صاحبها افضل الصلوة وازكى التحية و ايد
 

 
Arti teks : Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dia-lah yang Maha Hidup.”Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak mempunyai rasa takut dan tidak pula mempunyai rasa sedih.” Ini kubur Sang Faqir (menghadap) Allah Ta’ala, Sayyidina as-Syaikh , pengabdi, penyembah Allah, sangat zahid, al-syaikh al-murabith (pejuang diperbatasan yang penuh tekad ); tambang hakikat Ilahi, al-syaikh Hamzah bin Abdullah al-Fansuri. Semoga Allah menganugrahi rahmat-Nya dan menerima dalam surga-Nya! Amiin! Dia dipulangkan , oleh kesetiaan (kepangkuan) Allah Ta’ala saat fajar kamis penuh berkah, hari ke 9 bulan Allah Rajab yang Esa lagi Suci, tahun 933 (11 april 1527) dari Hijrahnya Nabi. Kepada sahabatnya sebaik-baik berkah dan selamat terluhur, semoga hadir.
Dengan demikian dapat dipastikan bahwa Barus telah berkembang menjadi Bandar kosmopolitan dari pertengahan abad ke-10 sampai abad ke-15, juga menjadi pusat pendidikan agama Islam di Nusantara. Kebanyakan inskripsi pada batu nisannya berbahasa Arab, dan sebagian kecil berbahasa Parsi. Dengan demikian, Hamzah Fansuri yang lahir di Barus pada pertengahan abad ke-15 dapat menguasai bahasa arab dan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Pada abad-abad itu Islam sedang berkembang sebagai kekuatan yang besar dan menjadikan Indonesia kawasan yang paling dinamis yang diabadikan oleh Anthony Reid dalam bukunya Southeast Asia in the Age of Commerce dan Barus terkenal sebagai eksportir minyak wangi barus (bukan kapur barus) yang sangat disukai oleh pangeran dan bangsawan Arab Parsi dan China. Bangsawan Cina menyukai minyak wangi Barus itu sejak abad ke-6.
Karena pengguna minyak wangi Barus adalah para pangeran-pangeran dari negeri-negeri yang paling maju dan paling dinamis pada abad-abad itu, dapat dipastikan harganya sangat mahal dan hanya orang-orang kaya serta pedagang yang bermodal saja yang terlibat dalam transaksi perdagangan komoditas untuk kaum elit tersebut; dan sesuai dengan tradisi yang berkembang di dunia Muslim , para pedagang Muslim di Barus menyediakan amal jariyah bagi ulama’ yang bersedia  menemani para pedagang untuk tinggal dan mengembangkan aktifitas pendidikan dan pengajaran Islam di Negeri yang jauh, Barus.
Dapat dipastikan bahwa syekh-syekh yang menyertai pedagang itu ulama’ yang tinggi ilmu pengetahuannya, karena dalam kurun waktu sekitar 200 tahun telah dapat menumbuhkan Kesultanan Lamreh yang lahir diwilayah ini menjelang tahun 1200. Oleh karena itu, sebagai bagian dari studi kepesantrenan, situs Barus menjadi sangat penting karena situs tersebut dapat mengungkap awal berdirinya lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia yang dalam proses panjang melahirkan ulama’ dan tokoh-tokoh yang mengubah bangsa Indonesia dari semula beragama Hindu Buddha menjadi penduduk Muslim terbesar di dunia (214 juta jiwa pada tahun 2011).
Proses terbangunnya pemukiman di pantai-pantai menyebabkan lahirnya lembaga-lembaga pesantren dan menumbuhkan sejumlah ibukota kesultanan. Karena yang diketahui paling tua adalah Kesultanan Lamreh pada sekitar tahun 1200 di wilayah Sumatera Utara maka tahun 1200 dijadikan Ricklefs sebagai tahun awal berkembangnya kesultanan Islam. Awal proses berkembangnya kesultanan-kesultanan itu akhirnya merata ke seluruh kepulau Nusantara. Dengan demikian, Lamreh menjadi titik tolak berkembangnya”Sejarah Indonesia Modern” yang Islami serta menjadi unit koheren yang berkelanjutan hingga sekarang. Sejarah dunia mencatat Indonesia sebagai negeri berpenduduk Muslim terbesar di dunia.( Zamakhsyari Dhofier )


Minggu, 14 Desember 2014

Akhir-akhir ini saya merasa prihatin terhadap suasana belajar dikelas yang tidak kondusif. Kedatangan mahasiswa yang terlambat secara tiba-tiba, sedikit mengganggu proses belajar-mengajar yang sedang berlangsung. Bermula dari sinilah saya berinisiatif untuk melakukan penelitian dengan cara mewawancarai mahasiswa-mahasiswa yang sering telat kuliah.
Sebanyak tiga orang telah saya ajak untuk berdialog mengenai kebiasaannya yang sering telat itu. Dan dari dialog tersebut saya mencoba untuk menyimpulkan beberapa faktor utama yang menjadi penyebab keterlambatan mereka.

1.      Malas
Ini menjadi alasan yang sering dilontarkan oleh sebagian besar mahasiswa. Kadar malas yang berlebihan menyebabkan mereka menjadi sangat berat untuk melangkahkan kakinya ke kampus, sebagian lagi ada yang mengatakan bahwa adanya sifat malas itu karena faktor gen (bawaan), terlebih mereka yang belum beradaptasi dengan dinginnya kota bandung.

2.      Macet
yah alasan ini yang paling laku dikalangan mahasiswa
Dosen : Kenapa Terlambat
Mahasiswa : Macet pak
Dosen : Kenapa Macet
Mahasiswa : gak tau pak
Dosen : Kenapa gak tau
Mahasiswa : yah ……………..

3.      Dosen
Gaya mengajar dosen yang tidak sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh mahasiswa.

4.      Kelelahan
Tugas-tugas menumpuk yang diberikan dosen kepada mahasiswa terkadang membuat mereka terpaksa begadang semalaman, itu sangat menguras energy dan membuat mereka merasa lelah. Akhirnya kesiangan deh.

5.      Pengaruh teman
Terkadang terlambatnya mahasiswa dipengaruhi oleh temannya sendiri. Seperti kata pepatah, “teman adalah penjara bagimu”.

6.      Ekskul dll.
Adanya kegiatan ekskul yang cukup menyita waktu.

Meskipun demikian, sebenarnya diantara mereka juga merasa malu ketika datang terlambat. Terkadang terbesit dalam fikiran mereka untuk dapat merubah pola hidup menjadi sedikit lebih disiplin, namun mreka juga tahu bahwa merubah suatu kebiasaan merupakan hal yang sulit dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Sebagian dari mereka mengatakan, “disiplin itu seperti rel, jika kita keluar dari disiplin maka kita akan celaka, tetapi jika kita juga terlalu terkekang oleh disiplin, itupun kurang baik.”
  Dalam ajaran Islam banyak ayat Al Qur’an dan Hadist yang memerintahkan disiplin dalam arti ketaatan pada peraturan yang telah ditetapkan, antara lain surat An Nisa ayat 59:
الآية……….يأيها الذين أمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولى الأمر منكم
“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kepada rasul-Nya dan kepada Ulil Amri dari (kalangan) kamu …” (An Nisa: 59)
Disiplin adalah kunci sukses, sebab dalam disiplin akan tumbuh sifat yang teguh dalam memegang prinsip, tekun dalam usaha maupun belajar, pantang mundur dalam kebenaran, dan rela berkorban untuk kepentingan agama dan jauh dari sifat putus asa. Perlu kita sadari bahwa betapa pentingnya disiplin dan betapa besar pengaruh kedisiplinan dalam kehidupan, baik dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa maupun kehidupan bernegara.
Disiplin dalam penggunaan waktu perlu diperhatikan dengan seksama. Waktu yang sudah berlalu tak mungkin dapat kembali lagi. Demikian pentingnya waktu sehingga berbagai bangsa menyatakan penghargan terhadap waktu. Orang Inggris mengatakan “Time is money (waktu adalah uang)”, peribahasa Arab mengatakan”(waktu adalah pedang)” atau waktu adalah peluang emas, dan kita orang Indonesia mengatakan:‘’sesal dahulu pendapatan sesal kemudian tak berguna’’.
Tak dapat dipungkiri bahwa orang-orang yang berhasil mencapai sukses dalam hidupnya adalah orang-orang yang hidup teratur dan berdisiplin dalam memanfaatkan waktunya. Disiplin tidak akan datang dengan sendirinya, akan tetapi melalui latihan yang ketat dalam kehidupan pribadinya.
Ada empat cara agar kita tidak menjadi orang-orang yang melalaikan waktu, antara lain: 
(1) kuatkan iman
(2) beramal saleh
(3) saling berwasiat dalam kebenaran
(4) saling berwasiat dalam kesabaran.