Sebuah pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam
tradisional dimana siswanya tinggal bersama dan belajar dibawah bimbingan
seorang (atau lebih) guru yang lebih dikenal dengan sebutan kyai. Asrama untuk
para santri berada dalam lingkungan komplek pesantren dimana kyai bertempat
tinggal yang juga menyediakan sebuah masjid untuk beribadah, ruangan untuk
belajar dan kegiatan-kegiatan keagamaan yang lain. Komplek pesantren ini
biasanya dikelilingi oleh tembok untuk menjaga keluar dan masuknya para santri
dan tamu-tamu (orang tua santri, keluarga yang lain, dan tamu-tamu masyarakat
luas) dengan peraturan yang berlaku.
Pesantren pada zaman dahulu milik kyai, tetapi sekarang kebanyakan
pesantren tidak semata-mata di anggap milik kyai saja, melainkan milik
masyarakat. Hal ini di sebabkan para kyai sekarang memperoleh sumber-sumber
keuangan untuk membiayai dan pengembangan pesantren dari masyarakat. Banyak
pula kelompok pesantren yang kini sudah berstatus wakaf, baik yang diberikan
oleh kyai yang terdahulu, maupun yang berasal dari orang-orang kaya. Walaupun
demikian, para kyai masih tetap memiliki kekuasaan mutlak atas pengurusan
komplek pesantren. Para penyumbang sendiri beranggapan bahwa para kyai berhak
memperoleh dana dari masyarakat; dan dana itu dianggap sebagai milik Tuhan, dan
para kyai diakui sebagai institusi ataupun pribadi yang dengan nama Tuhan
mengurus dana-dana masyarakat tersebut. Dalam praktek memang jarang sekali
diperlukan campur tangan masyarakat tersebut.
Ada dua alasan utama dalam hal perubahan sistem pemilikan
pesantren. Pertama, dulu pesantren tidak memerlukan pembiayaan yang besar, baik
karena jumlah santri tidak banyak, maupun karena kebutuhan jenis dan jumlah
alat-alat bangunan dan lain-lainnya relative sangat kecil. Kedua, baik kyainya,
maupun tenaga-tenaga pendidik yang membantunya, merupakan bagian dari kelompok
orang-orang yang mampu di pedesaan. Dengan demikian, mereka dapat membiayai
sendiri baik kebutuhan kehidupannya maupun kebutuhan penyelenggaraan kehidupan
pesantren. Hal ini tidak berarti bahwa semua kyai dilahirkan kaya.
Banyak bukti menunjukkan bahwa kyai harus berjuang keras dari bawah
untuk mengembangkan pesantrennya., dan kemudian barulah mereka menjadi kaya.
Dengan kata lain, proses atau jalan bagi pesantren untuk dapat memiliki
sumber-sumber kekayaan yang cukup tidak hanya satu.
Etik ekonomi para kyai meyakini bahwa kekayaan semata-mata milik Allah;
yang dipegang oleh manusia itu adalah sebagai “Amanat” (titipan) dari Allah.
Kekayaan hanya boleh dibelanjakan untuk kepentingan keagamaan, dan dengan etik
ini, para kyai beranggapan bahwa kekayaan tidak boleh dibelanjakan semata-mata
untuk kepuasan usik.
Faktor lainnya ialah prestise sosial yang amat tinggi yang dimiliki
oleh para kyai; dan prestise ini mengakibatkan atau menghasilkan jalan yang
mudah untuk memperoleh kemudahan bagi kebutuhan-kebutuhan materi yang
diperlukan untuk kepentingan santri dan pesantren. Kekayaan tentu penting untuk
mempermudah pencapaian hal-hal yang diperintahkan oleh Allah. Sejauh yang saya
ketahui pada masa sekarang ini, kyai-kyai yang kaya pada umumnya memiliki
pesantren besar, ada beberapa kyai memiliki mobil Mercedes atau BMW, tetapi
tampaknya praktek kehidupannya tetap sederhana. Merek mobil mewah yang
dimilikinya itu bukan kendaraan baru, melainkan kendaraan bekas. Pemilikan
mobil seperti itu lebih dimaksudkan untuk kebutuhan antar-jemput tamu.
Pondok, asrama bagi santri, merupakan ciri khas tradisi pesantren,
yang membedakannya dengan sistem pendidikan tradisional dimasjid-masjid yang berkembang
dikebanyakan wilayah Islam di Negara-negara lain. Sistem pendidikan surau di
daerah Minangkabau atau Dayah di Aceh pada dasarnya sama dengan sistem pondok,
yang berbeda hanya namanya.
Di Afganistan misalnya, para murid dan guru yang belum menikah
tinggal di masjid. Jika dimasjid tersebut cukup luas, satu atau dua kamar yang
disebut hujrah dibangun disamping masjid untuk tempat tidur para murid dan
guru. Kebanyakan murid tinggal menyebar dilanggar-langgar yang berdekatan
dengan masjid yang besar tersebut. Para murid dilanggar-langgar ini biasanya
memimpin sembahyang lima waktu bagi jama’ah (masyarakat) setempat; dan atas
kedudukannya ini masyarakat menanggung kebutuhan makan para tullab
(murid). Pada musim panen, sebagian hasil panen disedekahkan kepada tullab
sebagai hak Allah; sedekah ini biasanya dibelanjakan oleh tullab untuk
kebutuhan pakaian dan uang saku.
Di Jawa, besarnya pondok tergantung dari jumlah santri. Pesantren
besar yang memiliki santri lebih dari 3.000 ada yang telah memiliki gedung
bertingkat tiga yang dibuat dari tembok; semua ini biasanya dibiayai dari para
santri dan sumbangan masyarakat. Tanggung jawab santri dalam pendirian dan
pemeliharaan pondok diselenggarakan dengan cara yang berbeda-beda.
Pesantren Darussalam, blok Agung di Banyuwangi misalnya, mewajibkan
para santri membayar Rp 6.000,- (setahun), menyediakan sepotong kayu bangunan,
satu meter kubik pasir dan diwajibkan membuat 200 buah batu bata setahun sekali.
Demikian pula pesantren Ploso di Kediri mewajibkan para santrinya membayar uang
pondok sebanyak Rp 7.500,- setahun, dan mengumpulkan zakat dari orang-orang
kaya dikampung asal para santri diwaktu musim panen untuk kepentingan perluasan
bangunan dalam lingkungan pesantren. Pesantren Tebuireng di Jombang mewajibkan
para santrinya membayar uang pondok Rp
600,- sebulan, ditambah dengan potongan 5 persen dari kiriman wesel yang
diterima oleh para santri dari kiriman orangtuanya. Kebanyakan pesantren di
Jawa Tengah dan Jawa Timur kini memiliki santri lebih dari 500 orang. Hal ini
menyebabkan perlunya suatu manajemen yang lebih formal, yang tidak dapat
diselenggarakan semata-mata dari kekayaan kyai.
Ada
tiga alasan utama mengapa pesantren harus menyediakan asrama bagi para santri :
1)
Kemasyhuran
seorang kyai dan kedalaman pengetahuannya tentang Islam menarik santri-santri
dari tempat-tempat yang jauh untuk berdatangan. Untuk dapat menggali ilmu dari
kyai tersebut secara teratur dan dalam waktu yang lama, para santri harus
meninggalkan kampung halaman dan menetap didekat kediaman kyai dalam waktu yang
lama.
2) Hampir semua pesantren berada di desa-desa. Di desa tidak ada model kos-kosan
seperti di kota-kota Indonesia pada umumnya dan juga tidak tersedia perumahan
(akomodasi) yang cukup untuk dapat untuk menampung santri-santri. Dengan
demikian, perlu ada asrama khusus bagi para santri.
3)
Ada sikap timbal balik antara kyai dan
santri, dimana para santri menganggap kyainya seolah-olah sebagai bapaknya
sendiri, sedangkan kyai menganggap para santri sebagai titipan Tuhan yang harus
senantiasa dilindungi. Sikap timbal
balik ini menimbulkan keakraban dan kebutuhan untuk saling berdekatan terus menerus.
Sikap ini juga menimbulkan perasaan tanggung jawab di pihak kyai untuk dapat
menyediakan tempat tinggal bagi para santri. Di samping itu, dari pihak santri
tumbuh perasaan pengabdian kepada kyainya, sehingga para kyai memperoleh
imbalan dari para santri sebagai sumber tenaga bagi kepentingan pesantren dan
keluarga kyai.
Di Negeri-Negeri Muslim yang lain, para ulama kebanyakan merupakan
penduduk kota. Dengan demikian, para murid dari jauh yang belajar dibawah
bimbingan ulama dapat menyewa tempat tinggal disekitar rumah gurunya, yang biasanya
tersedia cukup banyak. Di Mekah dan Madinah misalnya, yang merupakan dua pusat
utama bagi studi Islam tradisional, para ulama mengajar murid-muridnya di Masjidil
Haram dan Masjid Nabawi. Para murid yang kebanyakan datang dari luar negeri,
tinggal didalam koloni-koloni. Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir,
menyediakan akomodasi dalam komplek universitas, tetapi tidak seperti pesantren.
Al-Azhar berkembang dari sistem pendidikn masjid tradisional dimana pemerintah
memegang inisiatif penting dalam penyediaan gedung asrama sehingga pada
akhirnya asrama menjadi milik masyarakat sepenuhnya.
Pentingnya pondok pesantren
sebagai asrama para santri tergantung kepada jumlah santri yang datang
dari daerah-daerah yang jauh. Untuk pesantren kecil misalnya, para santri
banyak pula yang tinggal di rumah-rumah penduduk di sekitar pesantren; mereka
menggunakan pondok hanya untuk keperluan-keperluan tertentu saja. Untuk pesantren-pesantren
besar, seperti Tebuireng, para santri harus puas tinggal bersama-sama dengan
sepuluh sampai limabelas santri dalam satu kamar sempit (kira-kira 8 meter
persegi). Tidak semua santri dapat tidur dalam kamar tersebut di waktu malam;
beberapa tidur di serambi masjid. Ada sekitar 200 santri tidur di serambi
masjid Tebuireng setiap malam. Para santri ini, sebenarnya terdaftar di
kamar-kamar tertentu dimana mereka menyimpan pakaian dan barang-barang miliknya
yang lain.
Keadaan kamar-kamar pondok biasanya sangat sederhana; mereka tidur
di atas lantai tanpa kasur. Papan-papan di pasang pada dinding untuk menyimpan
koper dan barang-barang lain. Para santri dari keluarga kaya-pun harus menerima dan
puas dengan fasilitas yang sangat sederhana ini. Para santri tidak boleh
tinggal di luar komplek pesantren, kecuali mereka yang berasal dari desa-desa
di sekeliling pondok. Alasannya ialah agar kyai dapat mengawasi dan menguasai
mereka secara mutlak. Hal ini sangat diperlukan karena telah disebutkan tadi,
kyai tidak hanya seorang guru, tetapi juga pengganti ayah para santri yang
bertanggung jawab untuk membina dan memperbaiki tingkah laku dan moral para
santri.
Bagi
pesantren besar, pondok terdiri dari beberapa blok tempat tinggal yang di
organisir kedalam kelompok-kelompok bagian, dan setiap bagian memiliki sejumlah
santri dari 50 sampai 120 orang. Tiap-tiap
bagian memiliki nama-nama yang diambil dari alfabet. Beberapa bagian mengambil
nama tambahan dari nama-nama Arab. Di Tebuireng misalnya, satu bagian menamakan
dirinya Al-Azhar.
Pesantren pada umumnya tidak menyediakan kamar khusus untuk santri
senior yang kebanyakan juga merangkap sebagai ustad (guru muda). Mereka tinggal
dan tidur bersama-sama santri yunior.
Pondok tempat tinggal santri merupakan elemen paling penting dari
tradisi pesantren, tapi juga penopang utama bagi pesantren untuk dapat terus
berkembang. Meskipun keadaan pondok sangat sederhana dan penuh sesak, namun
anak-anak muda yang berasal dari pedesaan dan baru pertama kali meninggalkan
desanya untuk melanjutkan pelajaran di suatu wilayah yang baru itu tidak perlu
mengalami kesukaran dalam tempat tinggal atau penyesuaian diri dengan
lingkungan sosial yang baru.
Di Indonesia, anak-anak muda pendatang baru dari desa-desa yang
ingin melanjutkan pelajarannya di kota seringkali mengalami kesulitan
perumahan. Tidak demikian halnya dalam lingkungan pesantren, dimana seorang
pendatang akan langsung memperoleh kamar hari itu juga begitu ia selesai
mendaftarkan diri. Kyai dan santri senior selalu membantu santri baru untuk
dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan baru di pesantren. (ZAMAKHSYARI
DHOFIER)
link terbaru olymptrade